Seperti yang telah kita ketahui bersama, pandemi ini benar-benar menghantam semua sektor kehidupan. Ekonomi, pendidikan, pariwisata, sampai kesehatan, semua terdampak dari pandemi yang sudah berlangsung hampir 2 tahun ini.
Dalam dunia kesehatan sendiri, dampak pandemi bisa dikatakan sangat berat. Banyak sekali nakes yang terpapar virus covid 19 dan akhirnya berpulang. Bahkan kabarnya sekitar hampir 2000an dokter gugur karena terdampak virus covid selama pandemi ini.
Padahal dokter yang kemarin merupakan salah satu garda terdepan dalam penanganan virus covid 19 ini rasio jumlahnya di Indonesia sangat tidak seimbang. Hanya 0,4/1000 penduduk yang artinya hanya ada 4 dokter untuk melayani 10.000 penduduk.
Keadaan ini tentu saja membuat pelayanan terhadap pasien pun terganggu dan kurang optimal.
Salah satu yang terdampak keadaan ini adalah mereka penderita penyakit kusta. Bahkan beberapa dari mereka terpaksa harus menghentikan pengobatan karena kondisini ini. Hal ini juga mengakibatkan angka kecacatan pada penderita kusta pun meningkat.
Lalu bagaimana dokter dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mengatasi hal ini?
Nah, beruntungnya hari Jumat, 29 Oktober lalu, saya bisa mengikuti live talk show yang diselenggarakan oleh Ruang Publik KBR dan disiarkan secara streaming di akun youtube Ruang Publik KBR. Acara ini menghadirkan dr. Ardiyansyah (Pengurus Ikatan Dokter Indonesia), dr. Udeng Daman (Technical Advisor NLR Indonesia), dan Rizal Wjaya sebagai hostnya.
Talk show yang mengambil tema “Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi” ini banyak sekali membahas mengenai bagaimana peran dokter, perbandingan atau rasio dokter di Indonesia, sampai bagaimana IDI menyiasati kekurang optimalan dalam penanganan kesehatan terutama untuk penderita kusta.
Peran Dokter di Masa Pandemi
Dokter merupakan salah satu garda terdepan dalam penanganan covid 19 terutama di rumah sakit. Tapi kondisi ini juga menyebabkan banyaknya dokter yang ikut terpapar sehingga akhirnya meninggal dunia.
Hal ini menyebabkan rasio dokter dan penduduk yang tidak seimbang, semakin tidak seimbang di Indonesia.
Padahal menurut WHO, rekomendasi rasio yang ideal antara dokter dan pasien adalah 1:1.000, sedangkan di Indonesia sendiri saat ini rasionya 4:10.000. Sangat tidak seimbang pastinya.
“Sebenarnya kalau mau kita mau hitung juga ya, kalau melihat sistem pelayanan kesehatan kita bahwa kita kan ada tingkatan pelayanan primer dan tingkatan pelayanan sekunder. Di mana pelayanan primer itu biasanya puskesmas maupun klinik yah, yang ketemu langsung dengan masyarakat itu di isi dengan dokter umum. Jadi kalau mau menghitung, kita tidak menghitung seluruh jumlah dokter. Karena dokter itu ada yang umum ada yang dokter spesialis. Kita memang sudah diangka 240an ribu untuk dokter, tapi untuk dokter umum sendiri ada 150an ribu. Jadi dengan penduduk yang sekitar 270an juta kurang lebih, dengan dokter umum yang 150an ribu, angka rasionya ada di angka 0,5-0,6 persen saja. Belum ada 1 persen. Masih bisa dibilang kurang lah” jelas dr. Ardiyansyah.
Jumlah ini juga sangat tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga yang rata-rata rasionya sudah mencapai 1.
Hal ini menandakan bahwa memang di masa biasa pun, rasio antara dokter dengan penduduknya sudah tidak ideal. Apalagi di masa pandemi seperti ini.
Tapi meskipun demikian, para dokter juga tetap bertugas dengan maksimal dan dengan menjalan prokes ketat di seluruh fasililtas kesehatan seperti puskesmas, klinik, atau rumah sakit meski dengan kekhawatiran akan tertular virus covid 19.
Selain itu dr. Ardi juga menghimbau kepada para dokter untuk tetap berpegang teguh pada sumpahnya untuk tetap melayani dengan sepenuh hati dan tidak membeda-bedakan pasien baik dari strata sosial maupun jenis penyakit yang diderita. dr. Ardi juga mengajak para nakes untuk aktif memberikan penyuluhan dan menyebarkan informasi mengenai kusta ini kepada masyarakat demi bisa segera mengeliminasi kusta di Indonesia.
Beruntung ya saat ini kondisi semakin membaik dan kasus covid pun sudah banyak mengalami penurunan. Jika keadaan semakin membaik, tentunya proses pelayanan kesehatan terutama untuk para penderita kusta pun juga bisa berjalan normal kembali.
Pelayanan Kesehatan Untuk Penderita Kusta di Masa Pandemi
Menurut dr. Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia, daerah endemik kusta di Indonesia masih cukup banyak yang tersebar di hampir kota/kabupaten di 21 propinsi.
“Berdasarkan data dari Kemenkes, bahwa di Indonesia ada beberapa kabupaten yang belum mencapai eliminasi. Contohnya ada 110 kota/kabupaten yang belum mencapai eliminasi. Jadi meskipun sebenarnya di propinsinya sendiri sudah tereliminasi, tapi menurut catatan kota/kabupaten masih belum. Meskipun ada propinsi yang memang sama sekali belum terliminasi seperi Papua, Maluku, Sulawesi Utara, itu belum tereliminasi di tingkat propinsi,” terangnya.
Sedangkan untuk Aceh, Jambi, Jawa Barat juga masih ada beberapa kabupatennya yang masih terdapat sebaran pasien kusta.
Biasanya faktor seperti sosial ekonomi, minimnya prilaku hidup sehat/bersih, sanitasi rumah yang kurang memadai, kepadatan penduduk adalah beberapa penyebab tingginya kasus kusta di suatu daerah. Dan biasanya penduduk di kota/kabupaten dengan penderita kusta, akan lebih rentan tertular yang mengakibatkan semakin meningkatnya pasien kusta di daerah tersebut.
Hanya saja pencatatan pasien kusta ini juga belum berjalan dengan optimal. Hal ini lah yang menuntut faskes terutama di daerah-daerah untuk melakukan pelacakan jika ada pasien kusta yang dengan sukarela datang ke faskes/puskesmas terdekat.
Harapannya dengan pendataan yang baik, maka penanganannya pun dapat lebih maksimal sehingga harapan Indonesia Bebas Kusta juga bisa segera terwujud.
Karena itulah, meski rasio dokter juga masih belum seimbang dengan kebutuhan di lapangan, dr. Udeng berharap pelayanan pada pasien kusta tetap dijalankan dengan maksimal demi menekan munculnya penderita baru yang tentu saja bisa berdampak pada semakin mundurnya realisasi eliminasi kusta di Indonesia.
Ada beberapa rekomendasi yang diberikan oleh dr. Udeng terkait dengan hal ini yaitu: melakukan prioritas distribusi nakes dan memilih daerah mana saja yang harus diprioritaskan, adanya peningkatan materi kusta terutama pada masa perkuliahan mahasiswa kedokteran, adanya pelatihan langsung bagaimana menangani pasien dengan penyakit kusta secara berkala.
Dengan demikian diharapkan, akan makin banyak dokter atau tenaga kesehatan yang paham dan mau menyebarkan informasi mengenai penyakit kusta kepada masyarakat dan lingkungan.
Harapan Indonesia Bebas Kusta
Sebagai salah satu negara yang masih memiliki catatan penderita kusta, tentu saja hal ini membuat pemerintah, Kemenkes, nakes, sampai banyak pihak yang berupaya sekuat tenaga berusaha agar secepatnya Indonesia Bebas Kusta.
Berbagai upaya serta penyuluhan selalu diberikan terutama kepada masyarakat umum untuk menerapkan gaya hidup bersih dan sehat demi menekan munculnya penyakit kusta.
Salah satu lembaga yang sangat aktif dan fokus pada isu kusta ini adalah NLR (Netherland Leprosy Relief). NLR merupakan pelopor dalam mempercepat dunia tanpa kusta dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Salah satu program dan inovasi baru yang saat ini sedang dilaksanakan oleh NLR adalah mendorong tercapainya “Three Zero”
- Zero Transmission (menghentikan transmisi atau penyebaran)
- Zero Disabilitas (mencegah terjadinya kecacatan dengan pengobatan secepat dan semaksimal mungkin)
- Zero Ekslusif (menurunkan stigma negatif pada penderita kusta di masyarakat)
Mari sama-sama berharap semoga ke depan pemerintah juga semakin concern pada pemerataan yang disertai dengan jaminan keamanan/perlindungan tenaga dokter dan kesehatan ke seluruh pelosok negeri.
Selain itu juga concern terhadap pemerataan fasilitas-fasilitas kesehatan yang memadai terutama di wilayah terpencil yang masih sulit dijangkau dengan kendaraan.
Lalu bagaimana kita bisa berperan serta dan membantu para nakes dalam penanganan kusta di masa pandemi ini?
Pertama-tama kita mulai dari diri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Jaga kesehatan & kebersihan, jaga asupan makanan, olah raga teratur, dan secepatnya memeriksakan diri jika mencurigai ada hal yang tidak wajar di bagian kulit kita.
Lalu, jika kita melihat ada tetangga atau keluarga yang menderita kusta, jangan dijauhi ya.
Penyakit mereka tidak akan menular hanya dengan bersalaman atau berdekatan ya. Dan ikut aktif melaporkan kepada fasilitas kesehatan terdekat jika ada penderita kusta di sekitar kita.
Yuk, sama-sama berjuang agar Indonesia segera bebas kusta.
nah iya nih ternyata jumlah dokter di Indonesia masih sedikit ya kalau dibandingkan jumlah penduduk, semakin terasa di masa-masa pandemi kaya gini, belum lagi ada penyakit2 lainnya yg mesti dapet perawatan juga kaya kusta
BalasHapusSalut sama program Yayasan NLR Indonesia dengan 3 Zero, semoga tahun 2024 indonesia terbebas dari penyakit kusta, yuk ... sebagai blogger kita bisa edukasikan lewat tulisan agar stigma negatif hilang
BalasHapusKalau lihat tiktok ada Tim medis meninggal sedih banget nih. Semoga pandemi cepat kelar ya
BalasHapusDengan kurangnya tenaga medis, kusta tetap harus ditangani, demi agar tidak bertambah penderitanya..dengan adanya sosialisasi seperti ini, semoga dapat menyadarkan masyarakat untuk segera berobat jika ada tanda atau gejala kusta supaya tidak semakin parah.
BalasHapusMasih banyak masyarakat yg punya pandangan negatif tentang kusta. Kalau penderita ragu periksa karena takut dihujat bagaimana bisa tertangani? Semoga masyarakat dapat edukasi dan bimbingan tentang kusta
BalasHapusSemoga target 3 Zero NLR tercapai ya. Beneran sedih deh, dokter2 banyak yg meninggal ketika angka penderita covid 19 lagi tinggi2nya beberapa bln lalu.
BalasHapusKarena stigma nya masih tinggi tentuny pengobatan kusta jd ikut terdampak, semoga dengan jumlah dokter yang ada pasien kusta bisa tertangani
BalasHapusPemerataan jumlah tenaga media yaitu dokter memang perlu diperhatikan, agar masyarakat yang membutuhkan pengobatan dapat lekas tertangani dengan baik. Serta dukungan sosialisasi dan edukasi guna menjaga kesehatan juga harus digalakkan
BalasHapus