Stop Diskriminasi dan Berikan Kesempatan Kerja Bagi Penderita Kusta

 

pic: www.radiopelitakasih.com

Apa yang terlintas di benak kalian ketika mendengar kalimat “penyakit kusta”?

Penyakit kutukan?

Penyakit turunan dan berbahaya?

Penyakit yang disebabkan darah kotor?

Penyakit yang biasa aja, sama dengan penyakit lainnya?

Yup, bener banget sih.

Masih banyak masyarakat awam yang beranggapan bahwa penyakit ini adalah penyakit yang penderita atau mantan penderitanya harus dihindari.

Padahal sebenarnya tidak demikian.

Berbicara mengenai kusta, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang selalu mengalami peningkatan kasus penyakit kusta baru setiap tahunnya. Hal inilah yang menjadikan Indonesia berada di peringkat ketiga dunia setelah Brazil dan India sebagai negara dengan jumlah kasus kusta tertinggi.

pic: kementrian kesehatan

Meskipun sebenarnya Indonesia sudah mencapai eliminasi kasus kusta pada tahun 2000, tapi berdasarkan data yang ada di lapangan saat ini masih ada 15.000 - 17.000 kasus kusta baru di Indonesia.

Kusta biasanya ditandai dengan kelemahan atau mati rasa di sekitar tungkai dan kaki yang diikuti dengan timbulnya lesi atau bercak pada kulit. Kusta yang tidak diobati dengan baik dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf tepi, anggota gerak, dan mata (WHO, 2019).

Kerusakan yang akhirnya menimbulkan cacat permanen inilah yang akhirnya memicu stigma negatif pada masyarakat.

Stigma negatif ini membuat para mantan OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) terjebak dalam lingkaran diskriminasi dan akhirnya menghambat mereka untuk bisa bersosialisasi dan bekerja di lingkungan masyarakat.

Bahkan tidak jarang banyak perusahaan atau tempat kerja yang dengan terang-terangan menolak memberi mereka pekerjaan. Sehingga menyebabkan para OYPMK ini hidup dalam kekurangan.

Lalu, apakah mereka masih berpotensi menularkan penyakit kusta?

Apakah memang mereka tidak mampu bekerja dengan baik?

Bagaimanakah cara membuka kesempatan kerja bagi mereka?

Nah, beruntung sekali Selasa, 15 Juni 2021 lalu aku mendapat kesempatan mengikuti acara Ruang Publik KBR bekerja sama dengan IIDN yang diadakan oleh KBR dan NLR Indonesia.



 
Acara yang dibawakan oleh Mas Rizal, penyiar KBR, dengan mengundang beberapa narsum ini ditayangkan di youtube KBR dan disiarkan di 100 jaringan KBR.

Talkshow ini mengundang Mas Angga Yanuar (Manajer Proyek Inklusi Disabilitas NLR Indonesia), Mbak Zukirah Ilmiana (owner PT. Anugrah Frozen Food), dan Mas Muhammad Arfa (OYPMK).

 NLR sendiri adalah sebuah yayasan nasional pemerhati kusta sejak tahun 1975 yang fokus pada pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk yang disebabkan oleh kusta. NLR ingin ke depannya dunia bisa terbebas dari kusta dan semua orang Indonesia  terutama orang yang pernah mengalami kusta atau orang dengan disabilitas, dapat menikmati hak-hak mereka di tengah masyrarakat inklusif tanpa stigma dan diskriminasi. 

NLR juga gencar menggandeng dinas terkait terutama dinas kesehatan kota/kabupaten dan juga organisasi-organisasi lainnya dalam melaksanakan ide-ide mulianya. Selain program kerja inklusif katalis yang melibatkan OYPMK, NLR juga menggagas Desa Sahabat Kusta yang bertujuan untuk mendukung penerimaan masyarakat pada pasien kusta dan OYPMK.

 

Mantan Penderita Kusta dan Stigma yang Melekat Pada Mereka

 


Kusta atau juga dikenal dengan penyakit lepra telah dikenal sejak hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Penyakit yang merupakan salah satu contoh Neglected Tropical Diseas (NTD) ini adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri “Mycobacterium leprae” yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, serta saluran pernapasan. Bakteri ini dapat menyebar melalui percikan ludah atau dahak yang keluar saat batuk atau bersin. Tapi untuk tingkat penularannya sendiri sebenarnya cukup rendah karena penularan bakteri kusta ini harus melalui kontak erat yang cukup lama dan intens.

pic: blogedukasi

Secara umum, kusta ini adalah penyakit kulit. Namun jika tidak segera dilakukan penanganan atau diobati, penyakit ini bisa menyebabkan diformitas yang akhirnya berujung pada disabilitas bagi penderitanya. Biasanya gejala awalnya bermula dari munculnya bercak merah atau putih pada kulit yang diikuti dengan mati rasa karena terjadinya kerusakan syaraf.

 


Indonesia sendiri sudah mencapai eliminasi terhadap penyakit kusta. Namun ternyata, khususnya 2 sampai 3 tahun belakangan ini, masih ada beberapa provinsi dengan kasus kusta tertinggi seperti Papua, NTT, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat.

“Kusta adalah penyakit kutukan” adalah salah satu stigma yang melekat erat pada penderita kusta atau lepra. Menurut Mas Angga Yanuar, Manajer Proyek Inklusi Disabilitas NLR Indonesia, stigma-stigma negatif semacam ini masih sangat sering ditemukan pada masyarakat umum.

Bahkan tidak jarang mereka melakukan perundungan secara verbal dan juga melakukan diskriminasi pada para penderita kusta.

Hal inilah yang membuat OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) akhirnya memiliki kesempatan yang sangat rendah untuk memperoleh pekerjaan.

 

Memberikan Kesempatan Kerja Untuk Para Penderita Kusta (OYPMK)

Lalu mungkinkah para penderita kusta (OYPMK) ini memiliki atau mendapatkan pekerjaan yang layak?

Dan mampukah mereka bekerja dengan baik dengan segala keadaan yang mereka miliki?

Berdasarkan Undang-Undang perlindungan kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas No. 13 Pasal 5 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan”.

Bahkan ada peraturan pemerintah yang mengharuskan setiap perusahaan harus mempekerjakan setidaknya 1 % penyandang disabilitas di lingkup ASN dan 1% di lingkup perusahaan swasta.

Meski pada prakteknya di lapangan, diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas ini masih banyak terjadi. Dan sampai saat ini belum ada implemntasi di lapangan dan juga sanksi yang diberikan jika ternyata perusahaan tidak memenuhi kuota yang diamanatkan terkait pada peraturan tersebut.

Banyak perusahaan yang melakukan diskriminasi sampai menolak mentah-mentah kehadiran mereka. Selain itu, fasilitas-fasilitas atau sarana prasarana kerja yang ada di perusahaan pun biasanya sangat tidak ramah penyandang disabilitas.

Alasan-alasan itu yang membuat para penyandang disabilitas, salah satunya OYPMK ini memilih mundur dan tidak berani masuk ke dalam pasar kerja karena minder dengan keadaan fisik mereka dan takut mengalami verbal bullying atau penolakan dari perusahaan yang dituju.


Hal inilah yang mengetuk hati Mbak Zukirah Ilmiana, owner PT. Anugerah Frozen Food di Bulukumba, Sulawesi Selatan. PT. Anugrah Frozen Food adalah salah satu perusahaan yang menerima peserta magang dari kaum disabilitas dalam program kerja inklusif katalis yang diinisiasi oleh NLR Indonesia bersama dengan organisasi di Sulawesi Selatan.

Beliau adalah salah satu orang yang sudah membuktikan kinerja OYPMK dengan membuka program magang di perusahaannya dan menurut pengalamannya mereka ini bisa bekerja dengan baik.

Mbak Zukirah adalah salah satu owner perusahaan yang bersimpati dengan penolakan-penolakan yang dialami mantan penderita kusta. Dan dengan alasan kemanusiaan, beliau bersedia menerima pemagang OYPMK di perusahaannya.

“Semua manusia itu sama. Tidak ada yang berbeda,” tegas Mbak Zukirah.

 Apalagi ternyata peserta magang yang ikut dengannya memiliki skill yang justru jauh lebih baik dibanding karyawannya yang lain.

Ia pun mengaku puas dengan kinerja karyawan magangnya yang juga lebih cepat tanggap dan mengerti ketika dijelaskan atau diajarkan hal baru.

Karyawan-karyawan di perusahaannya pun bisa menerima keberadaan karyawan magang dan memperlakukannya dengan baik.

Tantangan justru datang dari para pelanggan yang merasa takut dan meragukan kinerjanya. Tapi Mbak Zukirah bisa menghalau ketakutan mereka dengan penjelasan yang baik.

Bahkan beliau mengajak masyarakat untuk menghapus stigma negatif yang saat ini melahirkan ketidak adilan dan kesenjangan pada penderita disabilitas.

Karena menurut Mas Muhammad Arfa, salah satu nara sumber yang saat ini juga menjadi peserta magang di kantor Satpol PP di Sulawesi Selatan sebagai Staf Administrasi dan juga OYPMK, stigma ini cukup menyiksa dan menyakiti perasaan bagi para penyandang disabilitas khususnya dirinya sendiri. Bahkan dengan terbata-bata karena menahan tangis, Mas Arfa bercerita bagaimana kejamnya masyarakat memandang dan mengejek dirinya ketika dulu penyakit kusta tengah menyerang dirinya.


Alih-alih perhatian dan dukungan, kalimat-kalimat menyakitkan justru sering terlontar dari kawan-kawannya. Beruntunglah Mas Arfa tak patah semangat untuk berjuang.

Mas Arfa yang kini sudah sembuh juga mengajak para penderita kusta untuk tetap semangat berobat dan percaya diri untuk bisa sembuh. Tidak lupa Mas Arfa juga mengingatkan orang-orang sekitar dan keluarga para penderita kusta untuk mendukung dan memotivasi agar mereka tetap percaya diri. Bukan dijauhi karena pada dasarnya semua manusia itu sempurna dan memiliki kelebihan masing-masing.

Sebagai penutup, Mas Angga juga mengajak orang-orang baik pribadi, masyarakat, kelompok profesi, dan institusi untuk berhenti melakukan diskriminasi dan verbal bullying terutama pada para penyandang disabilitas.

Selain itu, menurutnya ada beberapa peran yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu teman-teman disabilitas atau OYPMK, yaitu:

  • Menjaga konsep bahwa semua ciptaan Tuhan adalah sempurna dan memiliki derajat yang sama.
  • Membekali diri dengan pengetahuan atau membaca informasi terkait dengan kondisi tertentu yang dialami seseorang.
  • Melakukan komunikasi publik untuk memunculkan kebijakan-kebijakan yang mendukung tentang pengurangan stigma serta peningkatan percaya diri penyandang disabilitas dan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

Dengan demikian diharapkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas pun akan berhenti dan mereka akan mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan orang normal lainnya.

Nah, semoga aku, kita, dan kalian kelak bisa memiliki usaha yang juga bisa menjadi lapangan pekerjaan baru bagi para OYPMK ini ya.

Yu, mari bahu membahu dan bekerja sama untuk menciptakan Indonesia yang ramah disabilitas.


 

1 komentar

  1. Memang menghilangkan stigma negatif bagi penyakit ini sebuah tantangan besar.

    BalasHapus